Sabtu, 22 Februari 2014

Hiwalah, Wakalah, Kafalah, dan Rahn

2.1. Hiwalah
            Kata Hiwalah berasal dari kata tahwil yang berarti intiqal (pemindahan) atau dari kata ha’aul(perubahan). Orang Arab biasa mengatakan haala ’anil ’ahdi, yaitu berlepas diri dari tanggung jawab. Sedang menurut fuqaha, para pakar fiqih, hiwalah adalah pemindahan kewajiban melunasi hutang kepada orang lain.
            Hiwalah merupakan pengalihan hutang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam hal ini terjadi perpindahan tanggungan atau hak dari satu orang kepada orang lain. Dalam istilah ulama, hiwalah adalah pemindahan beban hutang dari muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal ‘alaih (orang yang berkewajiban membayar hutang).

2.1.1. Dasar Hukum Hiwalah
            Islam membenarkan hiwalah dan membolehkannya karena ia diperlukan. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Menunda-nunda pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman. Maka, jika seseorang di antara kamu dialihkan hak penagihan piutangnya (dihawalahkan) kepada pihak yang mampu, terimalah” (HR. Bukhari).
            Pada hadis ini, Rasulullah SAW memerintahkan kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang berhutang meng-hiwalah-kan kepada orang yang kaya dan berkemampuan, hendaklah ia menerima hiwalah tersebut dan hendaklah ia mengikuti (menagih) kepada orang yang di-hiwalah-kan (muhal ‘alaih), dengan demikian haknya dapat terpenuhi (dibayar).




            Dan Menurut hadist riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf:
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”

2.1.2. Rukun Dan Syarat-Syarat Dalam Hiwalah
            Dalam hal ini, rukun akad hiwalah adalah:
1.      muhil, yakni orang yang berhutang dan sekaligus berpiutang
2.      muhal , yakni orang berpiutang kepada muhil.
3.      Muhal ‘alaih, yakni orang yang berhutang kepada muhil dan wajib membayar hutang kepada muhal
4.      muhal bih 1,  yakni hutang muhil kepada muhal, dan juga
5.      muhal bih 2 sebagai hutang muhal alaih kepada muhil
6.      sighat (ijab-qabul)
Untuk sahnya hiwalah disyaratkan hal-hal berikut:
pertama, relanya pihak muhil dan muhal tanpa muhal ‘alaih berdasarkan dalil kepada hadis di atas. Rasulullah SAW telah menyebutkan kedua belah pihak, karenanya muhil yang berhutang berkewajiban membayar hutang dari arah mana saja yang sesuai dengan keinginannya. Dan karena muhal mempunyai hak yang ada pada tanggungan muhil, maka tidak mungkin terjadi perpindahan tanpa kerelaannya.
Kedua, samanya kedua hak, baik jenis maupun kadarnya, penyelesaian, tempo waktu, serta mutu baik dan buruk. Maka tidak sah hiwalah apabila hutang berbentuk emas dan di-hiwalah-kan agar ia mengambil perak sebagai penggantinya. Demikian pula jika sekiranya hutang itu sekarang dan di-hiwalah-kan untuk dibayar kemudian (ditangguhkan) atau sebaliknya. Dan tidak sah pula hiwalah yang mutu baik dan buruknya berbeda atau salah satunya lebih banyak.
Ketiga, stabilnya hutang. Jika peng-hiwalah-an itu kepada pegawai yang gajinya belum lagi dibayar, maka hiwalah tidak sah.
Keempat, kedua hak tersebut diketahui dengan jelas. Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggungan muhil menjadi gugur. Andai kata muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, muhal tidak boleh lagi kembali kepada muhil.

2.1.3. Berakhirnya Hiwalah
Apabila kontrak  hiwalah telah terjadi, maka tanggungan muhil menjadi gugur. Jika muhal’alaih bangkrut (pailit) atau meninggal dunia, maka menurut pendapat Jumhur Ulama, muhal tidak boleh lagi kembali menagih hutang itu kepada muhil. Menurut Imam Maliki, jika muhil “menipu” muhal, di mana ia menghiwalahkan kepada orang yang tidak memiliki apa-apa (fakir), maka muhal boleh kembali lagi menagih hutang kepada muhil.

2.1.4. Jenis-Jenis Hiwalah
Akad Hiwalah, dalam praktiknya dapat dibedakan ke dalam dua kelompok. Yang pertama adalah berdasarkan jenis pemindahannya. Dan yang kedua adalah berdasarkan rukun Hiwalahnya. Kelompok pertama yang berdasarkan jenis pemindahannya, terdiri dari dua jenis Hiwalah, yaitu Hiwalah Dayn dan Hiwalah HaqqHiwalah Dayn adalah pemindahan kewajiban melunasi hutang kepada orang lain. Sedangkan Hiwalah Haqq adalah pemindahan kewajiban piutang kepada orang lain.
Hiwalah Dayn dan Haqq sesungguhnya sama saja, tergantung dari sisi mana melihatnya. Disebut Hiwalah  Dayn jika kita memandangnya sebagai pengalihan hutang, sedangkan sebutan Haqq, jika kita memandangnya sebagai pengalihan piutang. Berdasarkan definisi ini, maka anjak piutang (factoring) yang terdapat pada praktik perbankan, termasuk ke dalam kelompok Hiwalah Haqq, bukan Hiwalah Dayn.
Kelompok kedua yaitu Hiwalah yang berdasarkan rukun Hiwalah, terdiri dari Hiwalah Muqayyadah dan Hiwalah MuthlaqahHiwalah Muqayyadah adalah Hiwalah yang terjadi dimana orang yang berhutang, memindahkan hutangnya kepada Muhal Alaih, dengan mengaitkannya pada hutang Muhal alaih padanya. Maka dalam rukun Hiwalah, terdapat Muhal bih 2.
Hiwalah Muthlaqah adalah Hiwalah dimana orang yang berhutang, memindahkan hutangnya kepada Muhal alaih, tanpa mengaitkannya pada hutang Muhal alaih padanya, karena memang hutang muhal alaih tidak pernah ada padanya. Dengan demikian, Hiwalah Muthlaqah ini sesuai dengan konsep anjak piutang pada praktik Perbankan, dimana tidak ada hutang muhal alaih kepadanya sehingga didalam rukun hiwalahnya, tidak terdapat Muhal bih 2.

2.1.5. Aplikasi Hiwalah Dalam Institusi Keuangan
Dalam praktek perbankan syariah fasilitas hiwalah lazimnya untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya. Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan piutang. Untuk mengantisipasi resiko kerugian yang akan timbul, bank perlu melakukan penelitian atas kemampuan pihak yang berutang dan kebenaran transaksi antara yang memindahkan piutang dengan yang berutang. Katakanlah seorang supplier bahan bangunan menjual barangnya kepada pemilik proyek yang akan dibayar dua bulan kemudian. Karena kebutuhan supplier akan likuiditas, maka ia meminta bank untuk mengambil alih piutangnya. Bank akan menerima pembayaran dari pemilik proyek
Saat ini, akad hiwalah juga dapat diaplikasikan di Lembaga Keuangan Syari’ah, seperti anjak piutang maupun debt transfer. Kemudian contoh yang lain adalah dalam praktek Credit Card, istilah yang pas (sesuai) adalah hiwalah haqq, karena terjadi perpindahan menuntut tagihan (piutang) dari  nasabah kepada bank oleh merchant.
Dengan melihat berbagai transaksi modern saat ini yang menggunakan akad Hiwalah, ditemukan bahwa telah terjadi perubahan model dalam proses akad Hiwalah. Dimana pada model klasik berdasarkan definisi, Muhil menjadi hilang tanggung jawab hutangnya karena muhal ’alaih yang meneruskan hutang muhil kepada Muhal  karena Muhal ’alaih telah memiliki hutang kepada muhil sebelumnya.
Namun dalam model modern saat ini, Muhil masih bertanggungjawab terhadap hutangnya. Hanya pihak piutangnya saja yang berpindah dari muhal kemuhal ’alaih.

 2.2. Wakalah
            Dari sekian banyak akad-akad yang dapat diterapkan dalam kehidupan manusia. Wakalah termasuk salah satu akad yang menurut kaidah Fiqh Muamalah, akad Wakalah dapat diterima. Wakalah itu berarti perlindungan (al-hifzh), pencukupan (al-kifayah), tanggungan (al-dhamah), atau pendelegasian (al-tafwidh), yang diartikan juga dengan memberikan kuasa atau mewakilkan. Adapula pengertian-pengertian lain dari Wakalah yaitu:
·         Wakalah atau wikalah yang berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat.
·         Wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang sebagai pihak pertama kepada orang lain sebagai pihak kedua dalam hal-hal yang diwakilkan (dalam hal ini pihak kedua) hanya melaksanakan sesuatu sebatas kuasa atau wewenang yang diberikan oleh pihak pertama, namun apabila kuasa itu telah dilaksanakan sesuai yang disyaratkan, maka semua resiko dan tanggung jawab atas dilaksanakan perintah tersebut sepenuhnya menjadi pihak pertama atau pemberi kuasa.
 2.2.1. Dasar Hukum Wakalah
            Menurut agama Islam, seseorang boleh mendelegasikan suatu tindakan tertentu kepada orang lain dimana orang lain itu bertindak atas nama pemberi kuasa atau yang mewakilkan sepanjang hal-hal yang dikuasakan itu boleh didelegasikan oleh agama. Dalil yang dipakai untuk menunjukkan kebolehan itu, antara lain :

1.         Al-Qur’an:
·         QS Al-Kahfi (18:19).
Demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. berkatalah salah seorang di antara mereka: sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)”. mereka menjawab: “Kita berada (disini) sehari atau setengah hari”. berkata (yang lain lagi): “Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah Dia Lihat manakah makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia Berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.
·         QS Al-Baqarah (2:283).
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[1] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barang siapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
2.         Al-Hadits:
     Banyak hadits yang dapat dijadikan landasan keabsahanWakalah, diantaranya:
·         “Bahwasanya Rasulullah mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar untuk mewakilkannya mengawini Maimunah binti Al Harits”. HR. Malik dalam al-Muwaththa’)
·         “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf) 
Dalam kehidupan sehari-hari, Rosulullah telah mewakilkan kepada orang lain untuk berbagai urusan. Diantaranya adalah membayar hutang, mewakilkan penetapan had dan membayarnya, mewakilkan pengurusan unta, membagi kandang hewan, dan lain-lain.

2.2.2. Rukun Dan Syarat-Syarat Dalam Wakalah
            Menurut kelompok Hanafiah, rukun Wakalah itu hanya ijab qabul. Ijab merupakan pernyataan mewakilkan sesuatu dari pihak yang memberi kuasa dan qabul adalah penerimaan pendelegasian itu dari pihak yang diberi kuasa tanpa harus terkait dengan menggunakan sesuatu lafaz tertentu. Akan tetapi, jumhur ulama tidak sependirian dengan pandangan tersebut. Mereka berpendirian bahwa rukun dan syarat Wakalah itu adalah sebagai berikut:
1.      Orang yang mewakilkan (Al-Muwakkil)
·         Seseoarang yang mewakilkan, pemberi kuasa, disyaratkan memiliki hak untuk bertasharruf pada bidang-bidang yang didelegasikannya. Karena itu seseorang tidak akan sah jika mewakilkan sesuatu yang bukan haknya.
·         Pemberi kuasa mempunyai hak atas sesuatu yang dikuasakannya, disisi lain juga dituntut supaya pemberi kuasa itu sudah cakap bertindak atau mukallaf. Tidak boleh seorang pemberi kuasa itu masih belum dewasa yang cukup akal serta pula tidak boleh seorang yang gila. Menurut pandangan Imam Syafi’I anak-anak yang sudah mumayyiz tidak berhak memberikan kuasa atau mewakilkan sesuatu kepada orang lain secara mutlak. Namun madzhab Hambali membolehkan pemberian kuasa dari seorang anak yang sudah mumayyiz pada bidang-bidang yang akan dapat mendatangkan manfaat baginya.
2.      Orang yang diwakilkan. (Al-Wakil)
·         Penerima kuasa pun perlu memiliki kecakapan akan suatu aturan-aturan yang mengatur proses akad wakalah ini. Sehingga cakap hukum menjadi salah satu syarat bagi pihak yng diwakilkan.
·         Seseorang yang menerima kuasa ini, perlu memiliki kemampuan untuk menjalankan amanahnya yang diberikan oleh pemberi kuasa. ini berarti bahwa ia tidak diwajibkan menjamin sesuatu yang diluar batas, kecuali atas kesengajaanya,
3.      Obyek yang diwakilkan.
·         Obyek mestilah sesuatu yang bisa diwakilkan kepada orang lain, seperti jual beli, pemberian upah, dan sejenisnya yang memang berada dalam kekuasaan pihak yang memberikan kuasa.
·         Para ulama berpendapat bahwa tidak boleh menguasakan sesuatu yang bersifat ibadah badaniyah, seperti shalat, dan boleh menguasakan sesuatu yang bersifat ibadah maliyah seperti membayar zakat, sedekah, dan sejenisnya. Selain itu hal-hal yang diwakilkan itu tidak ada campur tangan pihak yang diwakilkan.
·         Tidak semua hal dapat diwakilkan kepada orang lain. Sehingga obyek yang akan diwakilkan pun tidak diperbolehkan bila melanggar Syari’ah Islam.
4.      Shighat
·         Dirumuskannya suatu perjanjian antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa. Dari mulai aturan memulai akad wakalah ini, proses akad, serta aturan yang mengatur berakhirnya akad wakalah ini.
·         Isi dari perjanjian ini berupa pendelegasian dari pemberi kuasa kepada penerima kuasa.
·         Tugas penerima kuasa oleh pemberi kuasa perlu dijelaskan untuk dan atas pemberi kuasa melakukan sesuatu tindakan tertentu. 
2.2.3. Aplikasi Wakalah Dalam Institusi Keuangan
            Akad Wakalah dapat diaplikasikan ke dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang ekonomi, terutama dalam institusi keuangan:
1.      Transfer uang
        Proses transfer uang ini adalah proses yang menggunakan konsep akad Wakalah, dimana prosesnya diawali dengan adanya permintaan nasabah sebagai Al-Muwakkil terhadap bank sebagai Al-Wakil untuk melakukan perintah/permintaan kepada bank untuk mentransfer sejumlah uang kepada rekening orang lain, kemudian bank mendebet rekening nasabah (Jika transfer dari rekening ke rekening), dan proses yang terakhir yaitu dimana bank mengkreditkan sejumlah dana kepada kepada rekening tujuan.
2.      Letter Of Credit Import Syariah
        Akad untuk transaksi Letter of Credit Import Syariah ini menggunakan akad Wakalah Bil Ujrah. Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 34/DSN-MUI/IX/2002. Akad Wakalah bil Ujrah ini memiliki definisi dimana nasabah memberikan kuasa kepada bank dengan imbalan pemberian ujrah atau fee. Namun ada beberapa modifikasi dalam akad ini sesuai dengan sutuasi yang terjadi. 
3.      Letter Of Credit Eksport Syariah
        Akad untuk transaksi Letter of Credit Eksport Syariah ini menggunakan akad Wakalah. Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 35/DSN-MUI/IX/2002. Akad Wakalah ini memiliki definisi dimana bank menerbitkan surat pernyataan akan membayar kepada eksportir untuk memfasilitasi perdagangan eksport. Namun ada beberapa modifikasi dalam akad ini sesuai dengan sutuasi yang terjadi.
4.      Investasi Reksadana Syariah
        Akad untuk transaksi Investasi Reksadana Syariah ini menggunakan akad Wakalah dan Mudharabah. Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 20/DSN-MUI/IV/2001. Akad Wakalah ini memiliki definisi dimana pemilik modal memberikan kuasa kepada manajer investasi agar memiliki kewenangan untuk menginvestasikan dana dari pemilik modal.
5.      Pembiayaan Rekening Koran Syariah
        Akad untuk transaksi pembiayaan rekening koran syariah ini menggunakan akad Wakalah. Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 30/DSN/VI/2002. Akad Wakalah ini memiliki definisi dimana bank memberikan kuasa kepada nasabah untuk melakukan transaksi yang diperlukan. 
6.      Asuransi Syariah
        Akad untuk Asuransi syariah ini menggunakan akad Wakalah bil Ujrah. Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 52/DSN-MUI/III/2006. Akad Wakalah bil Ujrah ini memiliki definisi dimana pemegang polis memberikan kuasa kepada pihak asuransi untuk menyimpannya ke dalam tabungan maupun ke dalam non-tabungan. Dalam model ini, pihak asuransi berperan sebagai Al-Wakil dan pemegang polis sebagai Al-Muwakil.
2.2.4. Berakhirnya Wakalah
            Yang menyebabkan Wakalah menjadi batal atau berakhir adalah:
1.      Bila salah satu pihak yang berakad Wakalah itu gila.
2.      Bila maksud yang terkandung dalam akad Wakalah sudah selesai pelaksanaannya atau dihentikan.
3.      Diputuskannya Wakalah tersebut oleh salah satu pihak yang berWakalah baik pihak pemberi kuasa ataupun pihak yang menerima kuasa.
4.      Hilangnya kekuasaan atau hak pemberi kuasa atau sesuatu obyek yang dikuasakan.
 2.3. Kafalah
            Secara etimologi berarti penjaminan. Kafalah mempunyai padanan kata yang banyak, yaitu dhamanah, hamalah, dan za’amah. Menurut Al-Mawardi, ulama madzhab Syafi’i, semua istilah tersebut memiliki arti yang sama, yaitu penjaminan.
            Menurut istilah kafalah berarti akad pemberian jaminan yang diberikan satu pihak (kafil) kepada pihak lain (makful ‘anhu) dimana pemberi jaminan bertanggung jawab atas pembayaran suatu hutang yang menjadi hak penerima jaminan (makful lahu).
            Istilah kafalah dalam praktek perbankan sekarang ini adalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga dalam rangka memenuhi kewajiban yang ditanggung (makful ‘anhu) apabila pihak yang ditanggung cidera janji atau wanprestasi. Secara teknis dapat dikatakan bahwa pihak bank dalam hal ini memberikan jaminan kepada nasabahnya sehubungan dengan kontrak kerja/perjanjian yang telah disepakati antara nasabah dengan pihak ketiga. Pada hakikatnya pemberian kafalah ini akan memberikan kepastian dan keamanan bagi pihak ketiga untuk melaksanakan isi perjanjian/kontrak yang telah disepakati tanpa khawatir apabila terjadi sesuatu dengan nasabah sehingga nasabah cidera janji untuk memenuhi prestasinya.

2.3.1. Landasan Hukum Syariah
            Dasar hukum kafalah dapat dipelajari dari Al-Qur’an dan Al-Hadist. Dalam Al-Qur’an terdapat pada bagian yang mengisahkan Nabi Yusuf, yaitu Al-Qur’an Surat Yusuf : 72 yang artinya:
“Penyeru-penyeru itu berseru,”Kami kehilangan piala Raja, barangsiapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh makanan (seberat) beban unta dan aku menjamin terhadapnya.” (Q.S. Yusuf : 72).
            Kata za’im yang artinya penjamin dalam Surat Yusuf tersebut adalahgharim, orang yang bertanggung jawab atas pembayaran. Sedangkan Ibnu Abbas menafsirkan kata za’iim berarti sama dengan kata kafiil.
            Dalam Al-Qur-an Surat Al-Maidah (5) : 2 Allah berfirman yang artinya:
“Tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah tolong-menolong dalam (mengerjakan) dosa dan pelanggaran.”(QS. Al-Mai’dah : 2).
            Selama masih dalam koridor kebaikan dan bukan untuk berbuat dosa dan pelanggaran, memberikan jaminan kepada orang lain merupakan perwujudan tolong menolong.
            Landasan syariah dalam jaminan kafalah pada ayat di atas dipertegas dalam hadits Rasulullah sebagai berikut:
“Telah dihadapkan kepada Rasulullah saw… (mayat seorang laki-laki untuk dishalatkan). Rasulullah saw bertanya,”Apakah ia mempunyai warisan?” Para sahabat menjawab,”Tidak.” Rasulullah bertanya lagi,”Apakah ia mempunyai hutang?” Sahabat menjawab,”Ya, sejumlah tiga dinar.” Rasulullah pun menyuruh para sahabat untuk menshalatkannya (tetapi beliau sendiri tidak). Lalu Abu Qatadah berkata, “Saya menjamin hutangnya, ya Rasulullah.” Maka Rasulullah pun menshalatkan mayat tersebut. (H.R. Bukhari no. 2127, kitab Al-Hawalah).
            Zaa’iim Gaarimun, artinya: “orang yang menjamin berarti dia adalah berutang (sebab jaminannya tersebut)” (HR. Abu Daud, Turmudzi dan memposisikannya sebagai hadits hasan. Dan Ibnu Hibban menjadikannya hadits shahih).
            Sedangkan dalam Al-Ijma, Para ulama sepakat dengan bolehnya kafalah karena sangat dibutuhkan dalam mu’amalah masyarakat. Dan agar pihak yang berpiutang tidak dirugikan dengan ketidakmampuan orang yang berutang. Hanya saja, mereka berbeda pendapat dalam beberapa hal. Perlu diketahui, kafalah yang dilakukan dengan  niat yang ikhlas mempunyai nilai ibadah yang berbuah pahala.


2.3.2. Rukun Kafalah
            Rukun Kafalah menurut sebagian besar ulama adalah sebagai berikut:
1.      Penjamin (dhomin/kafiil), yaitu orang yang tidak cacat muamalahnya secara hukum, maka anak-anak dan orang idiot tidak sah.
2.      Barang yang dijamin/utang (madhum), yaitu sesuatu yang boleh diganti dengan sejenisnya secara hukum, yaitu utang atau benda selain uang yang merupakan harta, jadi tidak boleh nyawa atau anggota badan dalam qishash dan hudud.
3.      Pihak yang dijamin (makful ‘anhu/madhum ‘anhu), yaitu orang yang dituntut/yang berutang baik hidup atau sudah mati.
4.      Sighah akad, yaitu ijab dari penjamin atau ijab-qabul dari akad transaksi.
            Menurut madzhab Syafi’i ada lima, yang kelima adalah pemilik utang(makful lahu/madhmun lahu), yaitu orang yang berpiutang atau orang yang berhak menerima pembayaran utang.

2.3.3. Akad Kafalah
            Menurut madzhab Hanafi dan Syafi’i akad Kafalah tersebut bisa terbagi menjadi 2, yaitu:
1.      Akad Sharih artinya terang-terangan, menggunakan kata “jaminatau sinonimnya. Contoh, saya menjamin utangnya, saya menanggung utangnya, utangnya saya jamin, utangnya saya tanggung, kalau ia tidak mampu saya yang membayarnya.
2.      Akad Kinayah artinya tidak menggunakan kata “jamin” atau semisalnya, tetapi bisa dipahami dari kata-katanya, ia sebagai penjamin. Seperti, biarkan dia, jangan lagi usik dia dengan utang itu, tagihlah saya, percayalah pada saya. Jika niatnya menjamin maka harus ia tepati, jika tidak maka batal.
2.3.4. Syarat-Syarat Kafalah
            Dalam kafalah ada beberapa syarat yang berkenaan dengan Kafiil (penjamin), Ashil/Makful ‘anhu (yang berutang), Makful Lahu (yang memberikan utang/berpiutang) dan Makful Bih (harta/batang yang dijamin).
            Syarat-Syarat yang berkenaan dengan si Penjamin (Kafiil), adalah sebagai berikut:
1.      Kafil diminta makful ‘anhu dan ia meridjoi permintaan tersebut
2.      Ketika menjamin utang makful ‘anhu, si kafil menyatakan jaminan itu atas nama makful ‘anhu
3.      Kafil tidak mempunyai utang kepada makful ‘anhu
4.      Kafil mampu melunasi (membayar) kewajiban utang tersebut
5.      Tanggung jawab kafil tetap eksis, selama makful ;anhu memiliki utang kepada makful lahu. Jika makful ‘anhu sudah terbebas dari utang, barulah kafil bebas tanggung jawab
6.      Kafil boleh dari satu
7.      Jika dalam kafalah bil mal, lalu makful ‘anhu meninggal, maka kafil bertanggung jawab
            Syarat-syarat yang berkenaan dengan Orang yang Terutang (Makful ‘Anhu/Ashiil), adalah sebagai berikut:
1.      Sanggup untuk menyerahkan tanggungannya (utang).
2.      Yang terutang adalah orang yang dikenal oleh penjamin.  
            Syarat-syarat yang berkenaan dengan Orang yang Berpiutang (Makful Lahu), adalah sebagai berikut:
1.      Diketahui identitas dirinya
2.      Orang yang berpiutang hadir di tempat akad
3.      Berakal sehat
4.      Makful lahu mempunyai hak (misalnya: piutang atau tanggung jawab) kepada makful ‘anhu
            Syarat-syarat yang berkenaan dengan Barang yang Akan Dijadikan Barang Jaminan (Makful Bih), adalah sebagai berikut:
1.      Merupakan tanggungan pihak/orang yang berhutang, baik berupa uang, benda, maupun pekerjaan
2.      Bisa dilaksanakan oleh penjamin
3.      Harus merupakan piutang mengikat (lazim), yang tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan
4.      Harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya
5.      Tidak bertentangan dengan syari’ah (yang tidak diharamkan)
2.3.5. Jenis-Jenis Kafalah
            Menurut ulama wahbah az-Zuhayliy dan Sayyid Sabiq, ditinjau dari segi obyeknya Kafalah terbagi menjadi 2 Jenis, yaitu:
1.      Kafalah bin Nafs (kafalah bil Wajhi), Merupakan akad jaminan dari kafil untuk menghadirkan diri seseorang pada waktu tertentu di tempat tertentu. Kafalah ini bukan merupakan kajian ekonomi Islam.
2.      Kafalah bil Mal, Merupakan jaminan pembayaran barang atau pelunasan hutang. Kafalah bil Mal sendiri terbagi menjadi 3 jenis, yaitu:
1)      Kafalah bit Taslim, yaitu merupakan jaminan yang diberikan dalam rangka menjamin penyerahan atas barang yang disewa pada saat berakhirnya masa sewa.
2)      Kafalah Munjazah, yaitu merupakan jaminan yang diberikan secara mutlak tanpa adanya pembatasan waktu tertentu.
3)      Kafalah muqayyadah/muallaqah, yaitu merupakan jaminan atau kafalah yang dibatasi waktunya, sebulan, setahun dan sebagainya.
2.3.6. Manfaat Kafalah
            Kafalah yang diberikan oleh bank sangat mendukung transaksi bisnis yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait, karena dapat memberikan rasa aman dan kondusif bagi kelangsungan bisnis maupun proyek-proyek yang sedang mereka kerjakan sehingga proyek-proyek tersebut dapat diselesaikan sesuai dengan jadwal yang telah disepakati. Secara umum dapat disimpulkan bahwa kafalah memberikan manfaat bagi:
1.      Pihak yang dijamin (nasabah), bahwa dengan kafalah yang diberikan oleh bank, nasabah bisa mendapatkan/mengerjakan proyek dari pihak ketiga, karena bisaanya pemilik proyek menentukan syarat-syarat tertentu dalam mengerjakan proyek yang mereka miliki.
2.      Pihak yang terjamin (pemilik proyek), bahwa dengan kafalah yang diberikan oleh bank, pemilik proyek mendapat jaminan bahwa proyek yang akan dikerjakan oleh nasabah tadi akan diselesaikan dengan jadwal yang telah ditentukan, karena kafalah merupakan pengambilalihan risiko oleh bank apabila nasabah cidera janji melaksanakan kewajibannya.
3.      Pihak yang menjamin (bank), bahwa dengan kafalah yang diterbitkan oleh bank, maka pihak bank akan memperoleh fee yang diperhitungkan dari nilai dan risiko yang ditanggung oleh bank atas kafalah yang diberikan.
2.3.7. Aplikasi Kafalah Dalam Transaksi Perbankan
            Dalam mekanisme system perbankan prinsip-prinsip kafalah dapat diaplikasikan dalam bentuk pemebrian jaminan bank dengan terlebih dahulu diawali dengan pembukaan fasilitas yang ditentukan oleh bank atas dasar hasil analisa dan evaluasi dari nasabah yang akan diberikan fasilitas tersebut. Fasilitas kafalah yang diberikan akan terlihat pada perkiraan administratif baik berupa komitmen maupun kontinjen.
            Fasilitas yang dapat diberikan sehubungan dengan penerapan prinsip kafalah tersebut adalah fasilitas bank garansi dan fasilitas letter of credit. Fungsi kafalah adalah pemberian jaminan oleh bank bagi pihak-pihakyang terkait untuk menjalankan bisnis mereka secara lebih aman dan terjamin, sehingga adanya kepastian dalam berusaha/bertransaksi, karena dengan jaminan ini bank berarti akan mengambil alih risiko/kewajiban nasabah, apabila nasabah wanprestasi/lalai dalam memenuhi kewajibannya.
            Pihak bank sebagai lembaga yang memberikan jaminan ini, juga akan memperoleh manfaat berupa peningkatan pendapatan atas upah yang mereka terima sebagai imbalan atas jasa yang diberikan, sehingga akan memberikan kontribusi terhadap perolehan pendapatan mereka.
            Transaksi yang dapat dikelompokkan dalam akad-akad kafalah adalah:
1.      Bank Garansi
        Bank garansi adalah surat jaminan yang diterbitkan oleh bank untuk menjamin pihak ketiga atas permintaan nasabah sehubungan dengan transaksi ataupun kontrak yang telah mereka sepakati sebelumnya. Pemberian jaminan ini pada umumnya disyaratkan oleh pihak ketiga terhadap mitra kerjanya, yang bertujuan untuk mendapatkan kepastian dilaksanakannya isi kontrak sesuai dengan yang telah disepakati. Apabila terjadi cidera janji oleh mitra kerjanya, berdasarkan surat jaminan bank (bank garansi) maka pihak ketiga tadi dapat mengajukan kalim kepada bank penerbit garansi tersebut, asal saja semua syarat-syarat untuk pengajuan klaim telah terpenuhi. Bank garansi berfungsi sebagai covering risk jika salah satu pihak lali/cidera janji memenuhi kewajibannya di mana pihak bank mengambil-alih risiko tersebut.
2.      Letter of Credit
        Pada umumnya instrumen letter of credit yang diterbitkan oleh bank akan membantu memperlancar transaksi perdagangan (ekspor impor) antar negara karena letter of credit berperan sebagai jembatan penghubung, pengambil-alihan risiko bagi masing-masing pihak terkait sehingga mereka merasa lebih aman untuk melakukan transaksi.
        Apabila pihak eksportir melakukan pengiriman barang-barng mereka kepada importir terlebih dahulu sebelum importir melakukan pembayaran atas harga barang yang dikirim tersebut, akan timbul kekhawatiran dari pihak eksportir kalau importir tidak melaksanakan pembayaran sedangkan barang-barang sudah terlanjur dikirim ke negara importir, sehingga eksportir akan menanggung risiko kemungkinan tidak diterimanya pembayaran. Sebaliknya apabila importir melakukan pembayaran/mengirim uang terlebih dahulu kepada eksportir sebelum barang dikirim oleh eksportir kepada importir, justru saat ini importir yang khawatir dan mempunyai risiko kalau pihak eksportir tidak mengirimkan barang-barang sesuai dengan pesanan, sedangkan pembayarannya telah dilakukan terlebih dahulu.
        Kondisi ragu-ragu dan saling curiga antara eksportir dan importir akan berlangsung terus karena masing-masing pihak tidak akan mau melakukan transaksi yang berisiko tinggi tanpa adanya suatu jaminan dan kepastian akan pembayaran maupun peneriamaan barang sesuai dengan kesepakatan mereka, sehingga akhirnya akan berdampak terhadap kelancaran dan pertumbuhan transaksi perdagangan secara keseluruhan.
        Untuk menjembatani permasalahan ini diperlukan suatu instrumen yang dikeluarkan oleh institusi yang independen dan dapat diterima oleh masing-masing pihak terkait agar mereka dapat menjalankan transaksi secara aman tanpa keraguan. Instrumen tersebut adalah letter of credit, merupakan dokumen bank yang intinya berupa janji atau komitmen bank kepada pihak penjual/eksportir melalui bank mereka untuk melakukan pembayaran, pembelian atau akseptasi dokumen-dokumen yang mereka kirim, dengan syarat apabila semua klausula-klausula yang disyaratkan dalam dokumen tadi telah dipenuhi oleh penjual/eksportir.
        Dalam hal ini bank sebagai penerbit letter of credit akan menerbitkan letter of credit atas dasar permohonan dari pembeli (importir) melalui sales contract yang telah mereka sepakati (antara importir dan eksportir) sehingga pihak bank dalam hal ini bukan dalam posisi mewakili importir, tetapi memberikan jaminan terhadap kelangsungan bisnis importir, karena dengan adanya letter of credit ini pihak eksportir akan merasa aman untuk mengirimkan barang-barangnya terlebih dahulu sedangkan pembayaran dari importir akan diterima nanti setelah dokumen-dokumen yang diterima mereka, diperiksa dan sesuai dengan yang disepakati. Pembayarn baru akan dilakukan apabila semua dokumen-dokumen yang dipersyaratkan dalam letter of credit tersebut telah dipenuhi oleh eksportir.
3.      Kartu Kredit
        Bank menjamin nasabah (pemegang kartu) untuk belanja tanpa uang cash kepada pihak ketiga (merchant, supermarket, hypermarket). Dan karena penjaminan itu, maka bank selaku kafil dapat mengenakan ujrah (fee) kepada nasabah.
2.4. Rahn
            Secara Etimologi (bahasa), Rahn berarti "Assyubuutu Waddawamu" (tetap dan lama), yakni berarti Pengekangan dan Keharusan. Sedangkan menurut Terminologi syara', Rahn berarti "Penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut."
            Menurut Ulama Syafi'iyah, Rahn adalah "Menjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar utang." Sedangkan menurut Ulama Hanabilah "Harta yang dijadikan jaminan utang sebagai pembayar harga (nilai) utang ketika berutang berhalangan (tak mampu) membayar utangnya kepada pemberi pinjaman."
            Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan utang atau gadai.




2.4.1. Landasan Hukum Syari'ah
            Rahn disyariatkan berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah, yaitu sebagai berikut:
1.      Al- Qur'an
"Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang" (QS. Al-Baqarah : 283).
        Ayat tersebut secara eksplisit menyebutkan "barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)". Dalam dunia finansial,barang tanggungan biasa dikenal sebagai jaminan (Collateral) atau objek pegadaian.
2.      As-Sunah
"Dari Siti Aisyah r.a. bahwa Rasulullah SAW. Pernah membeli makanan dengan menggadaikan baju besi." (HR. Bukhari dan Muslim)

2.4.2. Rukun Rahn (Gadai)
            Rahn memiliki empat unsur, yaitu rahin (orang yang memberikan jaminan), al-murtahin (orang yang menerima), al-marhun (jaminan), dan al-marhun nih (utang). Menurut sebagian besar ulama rukun rahn adalah sebagai berikut:
1.      Akad ijab dan kabul dilakukan secara lisan atau bisa pula dilakukan selain dengan kata-kata,seperti dengan surat, isyarat atau yang lainnya. Akan tetapi akad rahn tidak akan sempurna sebelum adanya penyerahan barang.
2.      Aqid, yaitu yang menggadaikan (rahin) dan yang menerima gadai (murtahin). Adapun syarat bagi yang berakad adalah ahli tasharuf,yaitu mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai.
3.      Barang yang dijadikan jaminan (borg), syarat pada benda yang dijadikan jaminan ialah keadaan barang itu tidak rusak sebelum janji utang harus dibayar.Rasul bersabda: "Setiap barang yang telah diperjual belikan boleh dijadikan borg gadai.
        Menurut Ahmad bin Hijazi bahwa yang dijadikan jaminan dalam masalah gadai ada tiga macam, yaitu:
1)      Kesaksian
2)      barang gadai
3)      barang tanggungan.
4.      Ada utang, disyaratkan keadaan utang telah tetap.

2.4.3. Syarat-Syarat Rahn
Dalam rahn disyaratkan beberapa Syarat berikut.

1.      Persyaratan Aqid
Kedua orang yang akan akad harus memenuhi kriteria al-ahliyah. Menurut ulama Syafi'iyah ahliyah adalah orang yang telah sah untuk jual beli,yakni berakal dan mumayyiz,tetapi tidak disyaratkan harus baligh. Dengan demikian,anak kecil yang sudah mumayyiz,dan orang yang bodoh berdasarkan izin dari walinya dibolehkan melakukan rahn. Menurut ulama selain Hanafiyah, ahliyah dalam rahn seperti pengertian ahliyah dalam jual-beli dan derma. Rahn tidak boleh dilakukan oleh orang yang mabuk,gila,bodoh,atau anak kecil yang belum baligh.Begitu pula seorang wali tidak boleh menggadaikanbarang orang yang dikuasainya,kecuali jika dalam keadaan madarat dan meyakini bahwa pemegangnya yang dapat dipercaya.


2.      Syarat Shighat
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa shighat dalam rahn tidak boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Jika memakai syarat tertentu, syarat tersebut batal dan rahn tetap sah.

2.4.4. Pengambilan Manfaat Barang Rahn
            Dalam pengambilan manfaat barang-barang yang digadaikan, para ulama berbeda pendapat, diantaranya jumhur fuqaha dan Ahmad. Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil suatu manfaat barang-barang gadaian tersebut, sekalipun rahin mengijinkannya, karena hal ini termasuk utang yang dapat menarik manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba.
            Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits dan al-Hasan, jika barang gadaian berupa kendaraan yang dapat digunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda gadai tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkannya selama kendaraan atau binatang ternak itu ada padanya.
            Jadi, pengambilan manfaat pada benda-benda gadai diatas ditekankan kepada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga yang memegang barang-barang gadai seperti diatas punya kewajiban tambahan. Pemegang barang gadai berkewajiban memberikan makanan bila barang gadaian itu adalah hewan. Harus memberikan bensin atau biaya perawatan bila yang dipegangnya berupa kendaraan. Jadi, yang dibolehkan disini adalah adanya upaya pemeliharaan terhadap barang gadaian yang ada pada dirinya.

 2.4.5. Penyelesaian Rahn
            Apabila pada waktu pembayaran yang telah ditentukan rahin belum membayar utangnya, hak murtahin adalah menjual marhun, pembelinya boleh murtahin sendiri atau yang lain, tetapi dengan harga umum yang berlaku pada waktu itu dari penjualan marhun tersebut. Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya, dengan akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar dari jumlah utang, sisanya dikembalikan kepada rahin. Apabila sebaliknya, harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang, rahin masih menanggung pembayaran kekurangannya. Setelah itu Rahn dipandang sudah selesai.
            Selain keadaan yang dijelaskan tadi, Rahn dipandang habis dengan beberapa keadaan sebagai berikut:
1.      Rahin melunasi semua hutangnya
2.      Pembebasan hutang, dalam bentuk apapun meskipun utang tersebut dipindahkan kepada orang lain.
3.      Pembatalan rahn dari pihak murtahin, rahn dipandang habis jika murtahin membatalkan rahn meskipun tanpa seizin rahin. Sebaliknya dipandang tidak batal jika rahin membatalkanya. Menurut ulama Hanafiyah murtahin diharuskan untuk mengatakan pembatalan borg kepada rahin. Hal ini karena rahn tidak terjadi, kecuali dengan memegang. Begitu pula cara membatalkannya adalah dengan tidak memegang. Ulama hanafiyah berpendapat bahwa rahn dipandang batal jika murtahin membiarkan borg pada rahin sampai dijual.
4.      Borg yang diserahkan kepada pemiliknya, Jumhur ulama selain Safi’iyah memandang habis rahn jika murtahin menyerahkan borg kepada pemiliknya sebab borg merupakan jaminan hutang. Jika borg diserahkan, tidak ada lagi jaminan. Selain itu dipandang habis pula rahn jika murtahin meminjamkan borg kepada rahn atau kepada orang lain atas seizin rahin.
5.      Rahin atau murtahin meninggal, Menurut ulama Malikiyah, rahn habis jika rahin meninggal sebelum menyerahkan borg kepada murtahin. Juga dipandang batal jika murtahin meninggal sebelum mengembalikan borg kepada rahin.
6.      Tasharruf  dan borg, Rahn dipandang habis apabila borg ditasharufkan seperti dijadikan hadiah, hibah, sedekah, dan lain-lain atas seizin pemiliknya.


2.4.6. Aplikasi Rahn Dalam Perbankan
1.      Sebagai Produk Pelengkap
        Rahn dipakai sebagai produk pelengkap,artinya sebagai akad tambahan (jaminan/collateral) terhadap produk lain seperti dalam pembiayaan ba'i al murabahah. Bank dapat menahan barang nasabah sebagai konsekuensi akad tersebut.
2.      Sebagai Produk Tersendiri
        Beberapa negara Islam termasuk diantaranya adalah Malaysia, akad Rahn telah dipakai sebagai alternatif dari pegadaian konvensional. Bedanya dengan pegadaian biasa, dalam rahn nasabah tidak dikenakan bunga, yang dipungut dari nasabah adalah biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan, serta penaksiran.
        Perbedaan utama antara biaya rahn dan bunga pegadaian adalah dari sifat bunga yang bisa berakumulasi dan berlipat ganda, sedangkan biaya rahn hanya sekali dan ditetapkan di muka.
2.4.7. Manfaat Dan Risiko Rahn Dalam Perbankan
            Beberapa Manfaat yang dapat diambil oleh bank dari prinsip ar-rahn adalah sebagai berikut.
1.      Menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai atau bermain-main dengan fasilitas pembiayaan yang diberikan bank.
2.      Memberikan keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji karena aa suatu aset atau barang (marhun) yang dipegang oleh bank.
3.      Jika Rahn diterapkan dalam mekanisme pegadaian,sudah barang tentu akan membantu saudara kita yang kesulitan dana,terutama di daerah-daerah.

            Adapun manfaat yang langsung didapat bank adalah biaya-biaya konkret yang harus dibayar oleh nasabah untuk pemeliharaan dan keamanan aset tersebut. Jika penahanan aset berdasarkan fidusia (penahanan barang bergerak sebagai jaminan),nasabah juga harus membayar biaya asuransi yang besarnya sesuai dengan yang berlaku secara umum.
            Selain beberapa manfaat yang telah dijelaskn tadi, Rahn juga memiliki beberapa resiko sebagai berikut:
1.      Risiko tak terbayarnya utang nasabah (wanprestasi)
2.      Risiko penurunan nilai aset yang ditahan atau dirusak.


 DAFTAR PUSTAKA
Kafalah Dalam Aplikasinya di Lembaga Keuangan Islam. From      http://alhushein.blogspot.com, 20 November 2013.
Konsep Akad Hiwalah Dalam Fiqh Muamalah. From           http://viewislam.wordpress.com, 20 November 2013.
Konsep Akad Wakalah Dalam Fiqh Muamalah. From           http://viewislam.wordpress.com, 20 November 2012.
Rahn (Gadai). From http://alhushein.blogspot.com, 20 November 2013.
Rahn (Gadai). From http://el-rahman23.blogspot.com/2012/10/rahn-gadai.html,      20 November 2013.

1 komentar: