2.1. Hiwalah
Kata Hiwalah berasal dari kata tahwil yang berarti intiqal (pemindahan)
atau dari kata ha’aul(perubahan). Orang Arab biasa mengatakan haala
’anil ’ahdi, yaitu berlepas diri dari tanggung jawab. Sedang menurut fuqaha,
para pakar fiqih, hiwalah adalah pemindahan kewajiban
melunasi hutang kepada orang lain.
Hiwalah merupakan
pengalihan hutang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib
menanggungnya. Dalam hal ini terjadi perpindahan tanggungan atau hak dari satu
orang kepada orang lain. Dalam istilah ulama, hiwalah adalah
pemindahan beban hutang dari muhil (orang yang berhutang)
menjadi tanggungan muhal
‘alaih (orang yang berkewajiban membayar hutang).
2.1.1. Dasar Hukum Hiwalah
Islam membenarkan hiwalah dan
membolehkannya karena ia diperlukan. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari
Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Menunda-nunda
pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman. Maka,
jika seseorang di antara kamu dialihkan hak penagihan piutangnya (dihawalahkan)
kepada pihak yang mampu, terimalah” (HR. Bukhari).
Pada hadis ini, Rasulullah SAW
memerintahkan kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang berhutang meng-hiwalah-kan
kepada orang yang kaya dan berkemampuan, hendaklah ia menerima hiwalah tersebut
dan hendaklah ia mengikuti (menagih) kepada orang yang di-hiwalah-kan (muhal
‘alaih), dengan demikian haknya dapat terpenuhi (dibayar).
Dan Menurut hadist riwayat
Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf:
“Perdamaian
dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan
syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram.”
2.1.2. Rukun Dan
Syarat-Syarat Dalam Hiwalah
Dalam hal ini, rukun akad hiwalah adalah:
1.
muhil, yakni orang yang berhutang dan
sekaligus berpiutang
2.
muhal , yakni orang berpiutang kepada muhil.
3.
Muhal ‘alaih, yakni orang yang berhutang kepada muhil dan wajib
membayar hutang kepada muhal
4.
muhal bih
1, yakni hutang muhil kepada muhal, dan juga
5.
muhal bih 2 sebagai hutang muhal
alaih kepada muhil
6.
sighat (ijab-qabul)
Untuk sahnya hiwalah disyaratkan hal-hal berikut:
pertama, relanya pihak muhil dan muhal tanpa muhal
‘alaih berdasarkan dalil kepada hadis di atas. Rasulullah SAW telah menyebutkan
kedua belah pihak, karenanya muhil yang berhutang berkewajiban
membayar hutang dari arah mana saja yang sesuai dengan keinginannya. Dan
karena muhal mempunyai hak yang ada pada tanggungan muhil,
maka tidak mungkin terjadi perpindahan tanpa kerelaannya.
Kedua, samanya kedua hak, baik jenis maupun kadarnya, penyelesaian, tempo
waktu, serta mutu baik dan buruk. Maka tidak sah hiwalah apabila hutang berbentuk emas dan di-hiwalah-kan agar ia mengambil
perak sebagai penggantinya. Demikian pula jika sekiranya hutang itu sekarang
dan di-hiwalah-kan untuk dibayar kemudian (ditangguhkan) atau
sebaliknya. Dan tidak sah pula hiwalah yang mutu baik dan
buruknya berbeda atau salah satunya lebih banyak.
Ketiga, stabilnya hutang. Jika peng-hiwalah-an itu kepada pegawai
yang gajinya belum lagi dibayar, maka hiwalah tidak sah.
Keempat, kedua hak tersebut diketahui dengan jelas. Apabila hiwalah berjalan
sah, dengan sendirinya tanggungan muhil menjadi gugur. Andai kata muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal
dunia, muhal tidak boleh lagi kembali kepada muhil.
2.1.3. Berakhirnya Hiwalah
Apabila kontrak hiwalah telah terjadi, maka
tanggungan muhil menjadi gugur. Jika muhal’alaih bangkrut
(pailit) atau meninggal dunia, maka menurut pendapat Jumhur Ulama, muhal tidak
boleh lagi kembali menagih hutang itu kepada muhil. Menurut Imam
Maliki, jika muhil “menipu” muhal, di mana ia menghiwalahkan
kepada orang yang tidak memiliki apa-apa (fakir), maka muhal boleh
kembali lagi menagih hutang kepada muhil.
2.1.4. Jenis-Jenis Hiwalah
Akad Hiwalah, dalam praktiknya dapat dibedakan ke dalam dua
kelompok. Yang pertama adalah berdasarkan jenis pemindahannya. Dan yang kedua
adalah berdasarkan rukun Hiwalahnya. Kelompok pertama yang
berdasarkan jenis pemindahannya, terdiri dari dua jenis Hiwalah,
yaitu Hiwalah
Dayn dan Hiwalah Haqq. Hiwalah Dayn adalah
pemindahan kewajiban melunasi hutang kepada orang lain. Sedangkan Hiwalah
Haqq adalah pemindahan kewajiban piutang kepada orang lain.
Hiwalah Dayn dan Haqq sesungguhnya sama saja, tergantung dari sisi mana
melihatnya. Disebut Hiwalah Dayn jika kita
memandangnya sebagai pengalihan hutang, sedangkan sebutan Haqq,
jika kita memandangnya sebagai pengalihan piutang. Berdasarkan definisi ini,
maka anjak piutang (factoring) yang terdapat pada praktik perbankan,
termasuk ke dalam kelompok Hiwalah Haqq, bukan Hiwalah Dayn.
Kelompok kedua yaitu Hiwalah yang berdasarkan rukun Hiwalah,
terdiri dari Hiwalah Muqayyadah dan Hiwalah Muthlaqah. Hiwalah
Muqayyadah adalah Hiwalah yang
terjadi dimana orang yang berhutang, memindahkan hutangnya kepada Muhal
Alaih, dengan mengaitkannya pada hutang Muhal alaih padanya.
Maka dalam rukun Hiwalah, terdapat Muhal bih 2.
Hiwalah Muthlaqah adalah Hiwalah dimana orang yang berhutang, memindahkan
hutangnya kepada Muhal alaih, tanpa mengaitkannya pada hutang Muhal
alaih padanya, karena memang hutang muhal alaih tidak
pernah ada padanya. Dengan demikian, Hiwalah Muthlaqah ini
sesuai dengan konsep anjak piutang pada praktik Perbankan, dimana tidak ada
hutang muhal alaih kepadanya sehingga didalam
rukun hiwalahnya, tidak terdapat Muhal bih 2.
2.1.5. Aplikasi Hiwalah Dalam Institusi
Keuangan
Dalam praktek perbankan syariah fasilitas hiwalah lazimnya
untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya.
Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan piutang. Untuk mengantisipasi
resiko kerugian yang akan timbul, bank perlu melakukan penelitian atas
kemampuan pihak yang berutang dan kebenaran transaksi antara yang memindahkan
piutang dengan yang berutang. Katakanlah seorang supplier bahan bangunan
menjual barangnya kepada pemilik proyek yang akan dibayar dua bulan kemudian.
Karena kebutuhan supplier akan likuiditas, maka ia meminta bank untuk mengambil
alih piutangnya. Bank akan menerima pembayaran dari pemilik proyek
Saat ini, akad hiwalah juga dapat diaplikasikan di Lembaga
Keuangan Syari’ah, seperti anjak piutang maupun debt transfer. Kemudian contoh yang lain adalah dalam praktek Credit Card,
istilah yang pas (sesuai) adalah hiwalah haqq, karena terjadi
perpindahan menuntut tagihan (piutang) dari nasabah kepada bank
oleh merchant.
Dengan melihat berbagai transaksi
modern saat ini yang menggunakan akad Hiwalah, ditemukan bahwa telah terjadi
perubahan model dalam proses akad Hiwalah. Dimana pada model klasik
berdasarkan definisi, Muhil menjadi hilang tanggung jawab
hutangnya karena muhal ’alaih yang meneruskan hutang muhil kepada Muhal karena Muhal ’alaih telah memiliki hutang kepada muhil sebelumnya.
Namun dalam model modern saat
ini, Muhil masih bertanggungjawab terhadap hutangnya. Hanya
pihak piutangnya saja yang berpindah dari muhal kemuhal
’alaih.
2.2. Wakalah
Dari sekian banyak akad-akad yang dapat diterapkan dalam kehidupan
manusia. Wakalah termasuk salah satu akad yang menurut kaidah
Fiqh Muamalah, akad Wakalah dapat diterima. Wakalah itu
berarti perlindungan (al-hifzh), pencukupan (al-kifayah),
tanggungan (al-dhamah), atau pendelegasian (al-tafwidh), yang
diartikan juga dengan memberikan kuasa atau mewakilkan. Adapula
pengertian-pengertian lain dari Wakalah yaitu:
·
Wakalah atau wikalah yang berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian
mandat.
·
Wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang sebagai pihak pertama
kepada orang lain sebagai pihak kedua dalam hal-hal yang diwakilkan (dalam hal
ini pihak kedua) hanya melaksanakan sesuatu sebatas kuasa atau wewenang yang
diberikan oleh pihak pertama, namun apabila kuasa itu telah dilaksanakan sesuai
yang disyaratkan, maka semua resiko dan tanggung jawab atas dilaksanakan perintah
tersebut sepenuhnya menjadi pihak pertama atau pemberi kuasa.
2.2.1. Dasar Hukum Wakalah
Menurut agama Islam, seseorang boleh mendelegasikan suatu tindakan tertentu
kepada orang lain dimana orang lain itu bertindak atas nama pemberi kuasa atau
yang mewakilkan sepanjang hal-hal yang dikuasakan itu boleh didelegasikan oleh
agama. Dalil yang dipakai untuk menunjukkan kebolehan itu, antara lain :
1.
Al-Qur’an:
·
QS Al-Kahfi (18:19).
Demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka
sendiri. berkatalah salah seorang di antara mereka: sudah berapa lamakah kamu
berada (disini?)”. mereka menjawab: “Kita berada (disini) sehari atau setengah
hari”. berkata (yang lain lagi): “Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya
kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi
ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah Dia Lihat manakah
makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan
hendaklah ia Berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu
kepada seorangpun.
·
QS Al-Baqarah (2:283).
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan
yang dipegang[1] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai
itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barang
siapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa
hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
2.
Al-Hadits:
Banyak hadits yang dapat dijadikan landasan keabsahanWakalah,
diantaranya:
·
“Bahwasanya
Rasulullah mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar untuk mewakilkannya
mengawini Maimunah binti Al Harits”. HR. Malik
dalam al-Muwaththa’)
·
“Perdamaian
dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan
syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram.” (HR Tirmidzi
dari ‘Amr bin ‘Auf)
Dalam kehidupan
sehari-hari, Rosulullah telah mewakilkan kepada orang lain untuk berbagai
urusan. Diantaranya adalah membayar hutang, mewakilkan penetapan had dan
membayarnya, mewakilkan pengurusan unta, membagi kandang hewan, dan lain-lain.
2.2.2. Rukun Dan Syarat-Syarat Dalam Wakalah
Menurut kelompok Hanafiah, rukun Wakalah itu hanya ijab
qabul. Ijab merupakan pernyataan mewakilkan sesuatu dari pihak yang memberi
kuasa dan qabul adalah penerimaan pendelegasian itu dari pihak yang diberi
kuasa tanpa harus terkait dengan menggunakan sesuatu lafaz tertentu. Akan
tetapi, jumhur ulama tidak sependirian dengan pandangan tersebut. Mereka
berpendirian bahwa rukun dan syarat Wakalah itu adalah sebagai
berikut:
1.
Orang yang
mewakilkan (Al-Muwakkil)
·
Seseoarang yang
mewakilkan, pemberi kuasa, disyaratkan memiliki hak untuk bertasharruf pada
bidang-bidang yang didelegasikannya. Karena itu seseorang tidak akan sah jika
mewakilkan sesuatu yang bukan haknya.
·
Pemberi kuasa
mempunyai hak atas sesuatu yang dikuasakannya, disisi lain juga dituntut supaya
pemberi kuasa itu sudah cakap bertindak atau mukallaf. Tidak boleh seorang
pemberi kuasa itu masih belum dewasa yang cukup akal serta pula tidak boleh
seorang yang gila. Menurut pandangan Imam Syafi’I anak-anak yang sudah mumayyiz
tidak berhak memberikan kuasa atau mewakilkan sesuatu kepada orang lain secara
mutlak. Namun madzhab Hambali membolehkan pemberian kuasa dari seorang anak
yang sudah mumayyiz pada bidang-bidang yang akan dapat mendatangkan manfaat
baginya.
2.
Orang yang
diwakilkan. (Al-Wakil)
·
Penerima kuasa
pun perlu memiliki kecakapan akan suatu aturan-aturan yang mengatur proses akad
wakalah ini. Sehingga cakap hukum menjadi salah satu syarat bagi pihak yng
diwakilkan.
·
Seseorang yang
menerima kuasa ini, perlu memiliki kemampuan untuk menjalankan amanahnya yang
diberikan oleh pemberi kuasa. ini berarti bahwa ia tidak diwajibkan menjamin
sesuatu yang diluar batas, kecuali atas kesengajaanya,
3.
Obyek yang
diwakilkan.
·
Obyek mestilah
sesuatu yang bisa diwakilkan kepada orang lain, seperti jual beli, pemberian
upah, dan sejenisnya yang memang berada dalam kekuasaan pihak yang memberikan
kuasa.
·
Para ulama
berpendapat bahwa tidak boleh menguasakan sesuatu yang bersifat ibadah
badaniyah, seperti shalat, dan boleh menguasakan sesuatu yang bersifat ibadah
maliyah seperti membayar zakat, sedekah, dan sejenisnya. Selain itu hal-hal
yang diwakilkan itu tidak ada campur tangan pihak yang diwakilkan.
·
Tidak semua hal
dapat diwakilkan kepada orang lain. Sehingga obyek yang akan diwakilkan pun
tidak diperbolehkan bila melanggar Syari’ah Islam.
4.
Shighat
·
Dirumuskannya
suatu perjanjian antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa. Dari mulai aturan
memulai akad wakalah ini, proses akad, serta aturan yang mengatur berakhirnya
akad wakalah ini.
·
Isi dari
perjanjian ini berupa pendelegasian dari pemberi kuasa kepada penerima kuasa.
·
Tugas penerima
kuasa oleh pemberi kuasa perlu dijelaskan untuk dan atas pemberi kuasa
melakukan sesuatu tindakan tertentu.
2.2.3. Aplikasi Wakalah Dalam Institusi Keuangan
Akad Wakalah dapat diaplikasikan ke dalam berbagai bidang,
termasuk dalam bidang ekonomi, terutama dalam institusi keuangan:
1.
Transfer uang
Proses transfer uang ini adalah proses yang menggunakan konsep akad Wakalah,
dimana prosesnya diawali dengan adanya permintaan nasabah sebagai Al-Muwakkil terhadap
bank sebagai Al-Wakil untuk melakukan perintah/permintaan
kepada bank untuk mentransfer sejumlah uang kepada rekening orang lain,
kemudian bank mendebet rekening nasabah (Jika transfer dari rekening ke
rekening), dan proses yang terakhir yaitu dimana bank mengkreditkan sejumlah
dana kepada kepada rekening tujuan.
2.
Letter Of
Credit Import Syariah
Akad untuk transaksi Letter of Credit Import Syariah ini
menggunakan akad Wakalah Bil Ujrah. Hal ini sesuai dengan Fatwa
Dewan Syariah Nasional Nomor: 34/DSN-MUI/IX/2002. Akad Wakalah bil Ujrah ini
memiliki definisi dimana nasabah memberikan kuasa kepada bank dengan imbalan
pemberian ujrah atau fee. Namun ada beberapa modifikasi dalam akad ini sesuai
dengan sutuasi yang terjadi.
3.
Letter Of Credit Eksport Syariah
Akad
untuk transaksi Letter of Credit Eksport Syariah ini
menggunakan akad Wakalah. Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah
Nasional Nomor: 35/DSN-MUI/IX/2002. Akad Wakalah ini memiliki
definisi dimana bank menerbitkan surat pernyataan akan membayar kepada
eksportir untuk memfasilitasi perdagangan eksport. Namun ada beberapa modifikasi dalam akad ini sesuai dengan sutuasi yang
terjadi.
4.
Investasi
Reksadana Syariah
Akad untuk transaksi Investasi Reksadana Syariah ini menggunakan akad Wakalah dan Mudharabah.
Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 20/DSN-MUI/IV/2001.
Akad Wakalah ini memiliki definisi dimana pemilik modal
memberikan kuasa kepada manajer investasi agar memiliki kewenangan untuk
menginvestasikan dana dari pemilik modal.
5.
Pembiayaan
Rekening Koran Syariah
Akad untuk transaksi pembiayaan rekening koran syariah ini menggunakan
akad Wakalah. Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional
Nomor: 30/DSN/VI/2002. Akad Wakalah ini memiliki definisi
dimana bank memberikan kuasa kepada nasabah untuk melakukan transaksi yang
diperlukan.
6.
Asuransi
Syariah
Akad untuk Asuransi syariah ini menggunakan akad Wakalah bil Ujrah.
Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 52/DSN-MUI/III/2006.
Akad Wakalah bil Ujrah ini memiliki definisi dimana pemegang
polis memberikan kuasa kepada pihak asuransi untuk menyimpannya ke dalam
tabungan maupun ke dalam non-tabungan. Dalam model ini, pihak asuransi berperan sebagai Al-Wakil dan
pemegang polis sebagai Al-Muwakil.
2.2.4. Berakhirnya Wakalah
Yang menyebabkan Wakalah menjadi batal atau berakhir
adalah:
1.
Bila salah satu
pihak yang berakad Wakalah itu gila.
2.
Bila maksud
yang terkandung dalam akad Wakalah sudah selesai
pelaksanaannya atau dihentikan.
3.
Diputuskannya Wakalah tersebut
oleh salah satu pihak yang berWakalah baik pihak pemberi kuasa
ataupun pihak yang menerima kuasa.
4.
Hilangnya
kekuasaan atau hak pemberi kuasa atau sesuatu obyek yang dikuasakan.
2.3. Kafalah
Secara etimologi berarti penjaminan.
Kafalah mempunyai padanan kata yang banyak, yaitu dhamanah, hamalah, dan
za’amah. Menurut Al-Mawardi, ulama madzhab Syafi’i, semua istilah tersebut
memiliki arti yang sama, yaitu penjaminan.
Menurut istilah kafalah berarti akad
pemberian jaminan yang diberikan satu pihak (kafil)
kepada pihak lain (makful ‘anhu) dimana pemberi jaminan
bertanggung jawab atas pembayaran suatu hutang yang menjadi hak penerima
jaminan (makful lahu).
Istilah kafalah dalam praktek perbankan sekarang ini adalah merupakan
jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga dalam rangka
memenuhi kewajiban yang ditanggung (makful ‘anhu) apabila pihak yang ditanggung
cidera janji atau wanprestasi. Secara teknis dapat dikatakan bahwa pihak bank
dalam hal ini memberikan jaminan kepada nasabahnya sehubungan dengan kontrak
kerja/perjanjian yang telah disepakati antara nasabah dengan pihak ketiga. Pada
hakikatnya pemberian kafalah ini akan memberikan kepastian dan keamanan bagi
pihak ketiga untuk melaksanakan isi perjanjian/kontrak yang telah disepakati
tanpa khawatir apabila terjadi sesuatu dengan nasabah sehingga nasabah cidera
janji untuk memenuhi prestasinya.
2.3.1. Landasan Hukum Syariah
Dasar hukum kafalah dapat dipelajari
dari Al-Qur’an dan Al-Hadist. Dalam Al-Qur’an terdapat pada bagian yang
mengisahkan Nabi Yusuf, yaitu Al-Qur’an Surat Yusuf : 72 yang artinya:
“Penyeru-penyeru
itu berseru,”Kami kehilangan piala Raja, barangsiapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh makanan (seberat) beban unta dan aku menjamin
terhadapnya.” (Q.S. Yusuf : 72).
Kata za’im yang
artinya penjamin dalam Surat Yusuf tersebut adalahgharim, orang yang
bertanggung jawab atas pembayaran. Sedangkan Ibnu Abbas menafsirkan kata za’iim berarti
sama dengan kata kafiil.
Dalam Al-Qur-an Surat Al-Maidah (5)
: 2 Allah berfirman yang artinya:
“Tolong menolonglah
kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah tolong-menolong
dalam (mengerjakan) dosa dan pelanggaran.”(QS. Al-Mai’dah : 2).
Selama masih dalam koridor kebaikan
dan bukan untuk berbuat dosa dan pelanggaran, memberikan jaminan kepada orang
lain merupakan perwujudan tolong menolong.
Landasan syariah dalam jaminan
kafalah pada ayat di atas dipertegas dalam hadits Rasulullah sebagai berikut:
“Telah
dihadapkan kepada Rasulullah saw… (mayat seorang laki-laki untuk dishalatkan). Rasulullah
saw bertanya,”Apakah ia mempunyai warisan?” Para sahabat menjawab,”Tidak.”
Rasulullah bertanya lagi,”Apakah ia mempunyai hutang?” Sahabat menjawab,”Ya,
sejumlah tiga dinar.” Rasulullah pun menyuruh para sahabat untuk
menshalatkannya (tetapi beliau sendiri tidak). Lalu Abu Qatadah berkata, “Saya
menjamin hutangnya, ya Rasulullah.” Maka Rasulullah pun menshalatkan mayat
tersebut. (H.R. Bukhari no. 2127, kitab Al-Hawalah).
Zaa’iim Gaarimun, artinya: “orang
yang menjamin berarti dia adalah berutang (sebab jaminannya tersebut)” (HR. Abu
Daud, Turmudzi dan memposisikannya sebagai hadits hasan. Dan Ibnu Hibban
menjadikannya hadits shahih).
Sedangkan dalam Al-Ijma, Para ulama
sepakat dengan bolehnya kafalah karena sangat dibutuhkan dalam mu’amalah masyarakat.
Dan agar pihak yang berpiutang tidak dirugikan dengan ketidakmampuan orang yang
berutang. Hanya saja, mereka berbeda pendapat dalam beberapa hal. Perlu
diketahui, kafalah yang dilakukan dengan niat yang ikhlas mempunyai nilai
ibadah yang berbuah pahala.
2.3.2. Rukun Kafalah
Rukun Kafalah menurut sebagian besar
ulama adalah sebagai berikut:
1.
Penjamin (dhomin/kafiil), yaitu orang yang
tidak cacat muamalahnya secara hukum, maka anak-anak dan orang idiot tidak sah.
2.
Barang yang dijamin/utang (madhum), yaitu sesuatu yang
boleh diganti dengan sejenisnya secara hukum, yaitu utang atau benda selain
uang yang merupakan harta, jadi tidak boleh nyawa atau anggota badan dalam
qishash dan hudud.
3.
Pihak yang dijamin (makful ‘anhu/madhum ‘anhu), yaitu
orang yang dituntut/yang berutang baik hidup atau sudah mati.
4.
Sighah akad, yaitu ijab dari penjamin atau ijab-qabul
dari akad transaksi.
Menurut madzhab Syafi’i ada lima,
yang kelima adalah pemilik utang(makful lahu/madhmun lahu), yaitu orang
yang berpiutang atau orang yang berhak menerima pembayaran utang.
2.3.3. Akad Kafalah
Menurut madzhab Hanafi dan Syafi’i akad
Kafalah tersebut bisa terbagi menjadi 2, yaitu:
1. Akad Sharih artinya terang-terangan, menggunakan kata “jamin” atau
sinonimnya. Contoh, saya menjamin utangnya, saya menanggung utangnya,
utangnya saya jamin, utangnya saya tanggung, kalau ia tidak mampu saya yang
membayarnya.
2. Akad Kinayah artinya tidak menggunakan kata
“jamin” atau semisalnya, tetapi bisa dipahami dari kata-katanya, ia sebagai
penjamin. Seperti, biarkan dia, jangan lagi usik dia dengan utang itu, tagihlah
saya, percayalah pada saya. Jika niatnya menjamin maka harus ia tepati, jika
tidak maka batal.
2.3.4. Syarat-Syarat Kafalah
Dalam
kafalah ada beberapa syarat yang berkenaan dengan Kafiil (penjamin), Ashil/Makful
‘anhu (yang berutang), Makful Lahu (yang memberikan
utang/berpiutang) dan Makful Bih (harta/batang yang dijamin).
Syarat-Syarat yang berkenaan dengan
si Penjamin (Kafiil), adalah sebagai berikut:
1.
Kafil diminta makful ‘anhu dan ia meridjoi permintaan
tersebut
2.
Ketika menjamin utang makful ‘anhu, si kafil
menyatakan jaminan itu atas nama makful ‘anhu
3.
Kafil tidak mempunyai utang kepada makful ‘anhu
4.
Kafil mampu melunasi (membayar) kewajiban utang
tersebut
5.
Tanggung jawab kafil tetap eksis, selama makful ;anhu
memiliki utang kepada makful lahu. Jika makful ‘anhu sudah terbebas dari utang,
barulah kafil bebas tanggung jawab
6.
Kafil boleh dari satu
7.
Jika dalam kafalah bil mal, lalu makful ‘anhu
meninggal, maka kafil bertanggung jawab
Syarat-syarat
yang berkenaan dengan Orang yang Terutang (Makful ‘Anhu/Ashiil), adalah sebagai
berikut:
1.
Sanggup untuk menyerahkan
tanggungannya (utang).
2.
Yang terutang adalah orang yang dikenal oleh penjamin.
Syarat-syarat
yang berkenaan dengan Orang yang Berpiutang (Makful Lahu), adalah sebagai
berikut:
1.
Diketahui identitas dirinya
2.
Orang yang berpiutang hadir di tempat akad
3.
Berakal sehat
4.
Makful lahu mempunyai hak (misalnya: piutang atau
tanggung jawab) kepada makful ‘anhu
Syarat-syarat
yang berkenaan dengan Barang yang Akan Dijadikan Barang Jaminan (Makful Bih),
adalah sebagai berikut:
1.
Merupakan tanggungan pihak/orang yang berhutang, baik
berupa uang, benda, maupun pekerjaan
2.
Bisa dilaksanakan oleh penjamin
3.
Harus merupakan piutang mengikat (lazim), yang tidak
mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan
4.
Harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya
5.
Tidak bertentangan dengan syari’ah (yang tidak
diharamkan)
2.3.5. Jenis-Jenis Kafalah
Menurut ulama wahbah az-Zuhayliy dan
Sayyid Sabiq, ditinjau dari segi obyeknya Kafalah terbagi menjadi 2 Jenis,
yaitu:
1.
Kafalah bin Nafs (kafalah bil Wajhi), Merupakan akad
jaminan dari kafil untuk menghadirkan diri seseorang pada waktu tertentu di
tempat tertentu. Kafalah ini bukan merupakan kajian ekonomi Islam.
2.
Kafalah bil Mal, Merupakan jaminan pembayaran barang
atau pelunasan hutang. Kafalah bil Mal sendiri terbagi menjadi 3 jenis, yaitu:
1)
Kafalah bit Taslim, yaitu merupakan jaminan yang
diberikan dalam rangka menjamin penyerahan atas barang yang disewa pada saat
berakhirnya masa sewa.
2)
Kafalah Munjazah, yaitu merupakan jaminan yang
diberikan secara mutlak tanpa adanya pembatasan waktu tertentu.
3)
Kafalah muqayyadah/muallaqah, yaitu merupakan jaminan
atau kafalah yang dibatasi waktunya, sebulan, setahun dan sebagainya.
2.3.6. Manfaat Kafalah
Kafalah yang
diberikan oleh bank sangat mendukung transaksi bisnis yang dilakukan oleh
pihak-pihak terkait, karena dapat memberikan rasa aman dan kondusif bagi
kelangsungan bisnis maupun proyek-proyek yang sedang mereka kerjakan sehingga
proyek-proyek tersebut dapat diselesaikan sesuai dengan jadwal yang telah
disepakati. Secara umum dapat disimpulkan bahwa kafalah memberikan manfaat
bagi:
1.
Pihak yang dijamin (nasabah), bahwa dengan kafalah
yang diberikan oleh bank, nasabah bisa mendapatkan/mengerjakan proyek dari
pihak ketiga, karena bisaanya pemilik proyek menentukan syarat-syarat tertentu
dalam mengerjakan proyek yang mereka miliki.
2.
Pihak yang terjamin (pemilik proyek), bahwa dengan
kafalah yang diberikan oleh bank, pemilik proyek mendapat jaminan bahwa proyek
yang akan dikerjakan oleh nasabah tadi akan diselesaikan dengan jadwal yang
telah ditentukan, karena kafalah merupakan pengambilalihan risiko oleh bank
apabila nasabah cidera janji melaksanakan kewajibannya.
3.
Pihak yang menjamin (bank), bahwa dengan kafalah yang
diterbitkan oleh bank, maka pihak bank akan memperoleh fee yang diperhitungkan
dari nilai dan risiko yang ditanggung oleh bank atas kafalah yang diberikan.
2.3.7. Aplikasi Kafalah Dalam Transaksi Perbankan
Dalam
mekanisme system perbankan prinsip-prinsip kafalah dapat diaplikasikan dalam
bentuk pemebrian jaminan bank dengan terlebih dahulu diawali dengan pembukaan
fasilitas yang ditentukan oleh bank atas dasar hasil analisa dan evaluasi dari
nasabah yang akan diberikan fasilitas tersebut. Fasilitas kafalah yang
diberikan akan terlihat pada perkiraan administratif baik berupa komitmen
maupun kontinjen.
Fasilitas
yang dapat diberikan sehubungan dengan penerapan prinsip kafalah tersebut
adalah fasilitas bank garansi dan fasilitas letter of credit. Fungsi kafalah
adalah pemberian jaminan oleh bank bagi pihak-pihakyang terkait untuk
menjalankan bisnis mereka secara lebih aman dan terjamin, sehingga adanya
kepastian dalam berusaha/bertransaksi, karena dengan jaminan ini bank berarti
akan mengambil alih risiko/kewajiban nasabah, apabila nasabah wanprestasi/lalai
dalam memenuhi kewajibannya.
Pihak bank
sebagai lembaga yang memberikan jaminan ini, juga akan memperoleh manfaat
berupa peningkatan pendapatan atas upah yang mereka terima sebagai imbalan atas
jasa yang diberikan, sehingga akan memberikan kontribusi terhadap perolehan
pendapatan mereka.
Transaksi
yang dapat dikelompokkan dalam akad-akad kafalah adalah:
1.
Bank Garansi
Bank garansi
adalah surat jaminan yang diterbitkan oleh bank untuk menjamin pihak ketiga
atas permintaan nasabah sehubungan dengan transaksi ataupun kontrak yang telah
mereka sepakati sebelumnya. Pemberian jaminan ini pada umumnya disyaratkan oleh
pihak ketiga terhadap mitra kerjanya, yang bertujuan untuk mendapatkan
kepastian dilaksanakannya isi kontrak sesuai dengan yang telah disepakati.
Apabila terjadi cidera janji oleh mitra kerjanya, berdasarkan surat jaminan
bank (bank garansi) maka pihak ketiga tadi dapat mengajukan kalim kepada bank
penerbit garansi tersebut, asal saja semua syarat-syarat untuk pengajuan klaim
telah terpenuhi. Bank garansi berfungsi sebagai covering risk jika
salah satu pihak lali/cidera janji memenuhi kewajibannya di mana pihak bank
mengambil-alih risiko tersebut.
2.
Letter of Credit
Pada umumnya
instrumen letter of credit yang diterbitkan oleh bank akan
membantu memperlancar transaksi perdagangan (ekspor impor) antar negara karena
letter of credit berperan sebagai jembatan penghubung, pengambil-alihan risiko
bagi masing-masing pihak terkait sehingga mereka merasa lebih aman untuk
melakukan transaksi.
Apabila pihak eksportir melakukan
pengiriman barang-barng mereka kepada importir terlebih dahulu sebelum importir
melakukan pembayaran atas harga barang yang dikirim tersebut, akan timbul
kekhawatiran dari pihak eksportir kalau importir tidak melaksanakan pembayaran
sedangkan barang-barang sudah terlanjur dikirim ke negara importir, sehingga
eksportir akan menanggung risiko kemungkinan tidak diterimanya pembayaran. Sebaliknya
apabila importir melakukan pembayaran/mengirim uang terlebih dahulu kepada
eksportir sebelum barang dikirim oleh eksportir kepada importir, justru saat
ini importir yang khawatir dan mempunyai risiko kalau pihak eksportir tidak
mengirimkan barang-barang sesuai dengan pesanan, sedangkan pembayarannya telah
dilakukan terlebih dahulu.
Kondisi ragu-ragu dan saling curiga
antara eksportir dan importir akan berlangsung terus karena masing-masing pihak
tidak akan mau melakukan transaksi yang berisiko tinggi tanpa adanya suatu
jaminan dan kepastian akan pembayaran maupun peneriamaan barang sesuai dengan
kesepakatan mereka, sehingga akhirnya akan berdampak terhadap kelancaran dan
pertumbuhan transaksi perdagangan secara keseluruhan.
Untuk menjembatani permasalahan ini
diperlukan suatu instrumen yang dikeluarkan oleh institusi yang independen dan
dapat diterima oleh masing-masing pihak terkait agar mereka dapat menjalankan
transaksi secara aman tanpa keraguan. Instrumen tersebut adalah letter
of credit, merupakan dokumen bank yang intinya berupa janji atau komitmen
bank kepada pihak penjual/eksportir melalui bank mereka untuk melakukan
pembayaran, pembelian atau akseptasi dokumen-dokumen yang mereka kirim, dengan
syarat apabila semua klausula-klausula yang disyaratkan dalam dokumen tadi
telah dipenuhi oleh penjual/eksportir.
Dalam hal ini bank sebagai penerbit
letter of credit akan menerbitkan letter of credit atas dasar permohonan dari
pembeli (importir) melalui sales contract yang telah mereka sepakati (antara importir
dan eksportir) sehingga pihak bank dalam hal ini bukan dalam posisi mewakili
importir, tetapi memberikan jaminan terhadap kelangsungan bisnis importir,
karena dengan adanya letter of credit ini pihak eksportir akan merasa aman
untuk mengirimkan barang-barangnya terlebih dahulu sedangkan pembayaran dari
importir akan diterima nanti setelah dokumen-dokumen yang diterima mereka,
diperiksa dan sesuai dengan yang disepakati. Pembayarn baru akan dilakukan
apabila semua dokumen-dokumen yang dipersyaratkan dalam letter of credit
tersebut telah dipenuhi oleh eksportir.
3. Kartu Kredit
Bank menjamin nasabah (pemegang
kartu) untuk belanja tanpa uang cash kepada pihak ketiga (merchant,
supermarket, hypermarket). Dan karena penjaminan itu, maka bank selaku kafil dapat
mengenakan ujrah (fee) kepada nasabah.
2.4. Rahn
Secara
Etimologi (bahasa), Rahn berarti "Assyubuutu
Waddawamu" (tetap dan lama), yakni berarti Pengekangan dan Keharusan.
Sedangkan menurut Terminologi syara', Rahn berarti "Penahanan terhadap
suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang
tersebut."
Menurut Ulama Syafi'iyah, Rahn
adalah "Menjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan
pembayar ketika berhalangan dalam membayar utang." Sedangkan menurut Ulama
Hanabilah "Harta yang dijadikan jaminan utang sebagai pembayar harga
(nilai) utang ketika berutang berhalangan (tak mampu) membayar utangnya kepada
pemberi pinjaman."
Berdasarkan beberapa pengertian di
atas, dapat disimpulkan bahwa Rahn adalah menahan
salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang
diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan
demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali
seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn
adalah semacam jaminan utang atau gadai.
2.4.1. Landasan
Hukum Syari'ah
Rahn
disyariatkan berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah, yaitu sebagai berikut:
1.
Al- Qur'an
"Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah
tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang" (QS.
Al-Baqarah : 283).
Ayat
tersebut secara eksplisit menyebutkan "barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang berpiutang)". Dalam dunia finansial,barang tanggungan biasa
dikenal sebagai jaminan (Collateral) atau objek pegadaian.
2.
As-Sunah
"Dari Siti Aisyah r.a. bahwa Rasulullah SAW.
Pernah membeli makanan dengan menggadaikan baju besi." (HR.
Bukhari dan Muslim)
2.4.2. Rukun
Rahn (Gadai)
Rahn memiliki empat unsur, yaitu rahin (orang yang memberikan jaminan), al-murtahin (orang yang menerima), al-marhun (jaminan), dan al-marhun nih (utang). Menurut sebagian
besar ulama rukun rahn adalah sebagai berikut:
1.
Akad ijab
dan kabul dilakukan secara lisan atau bisa pula dilakukan selain dengan
kata-kata,seperti dengan surat, isyarat atau yang lainnya. Akan tetapi akad
rahn tidak akan sempurna sebelum adanya penyerahan barang.
2.
Aqid, yaitu yang
menggadaikan (rahin) dan yang
menerima gadai (murtahin). Adapun
syarat bagi yang berakad adalah ahli tasharuf,yaitu mampu membelanjakan harta
dan dalam hal ini memahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai.
3.
Barang yang dijadikan jaminan (borg), syarat pada
benda yang dijadikan jaminan ialah keadaan barang itu tidak rusak sebelum janji
utang harus dibayar.Rasul bersabda: "Setiap barang yang telah diperjual
belikan boleh dijadikan borg gadai.
Menurut
Ahmad bin Hijazi bahwa yang dijadikan jaminan dalam masalah gadai ada tiga
macam, yaitu:
1)
Kesaksian
2)
barang gadai
3)
barang tanggungan.
4.
Ada utang, disyaratkan keadaan utang telah tetap.
2.4.3. Syarat-Syarat Rahn
Dalam rahn disyaratkan beberapa Syarat berikut.
1. Persyaratan
Aqid
Kedua orang yang akan akad harus memenuhi kriteria al-ahliyah. Menurut
ulama Syafi'iyah ahliyah adalah orang yang telah sah untuk jual beli,yakni
berakal dan mumayyiz,tetapi tidak disyaratkan harus baligh. Dengan
demikian,anak kecil yang sudah mumayyiz,dan orang yang bodoh berdasarkan izin
dari walinya dibolehkan melakukan rahn. Menurut ulama selain Hanafiyah, ahliyah
dalam rahn seperti pengertian ahliyah dalam jual-beli dan derma. Rahn tidak
boleh dilakukan oleh orang yang mabuk,gila,bodoh,atau anak kecil yang belum
baligh.Begitu pula seorang wali tidak boleh menggadaikanbarang orang yang
dikuasainya,kecuali jika dalam keadaan madarat dan meyakini bahwa pemegangnya
yang dapat dipercaya.
2. Syarat
Shighat
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa shighat dalam rahn tidak boleh memakai
syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Jika memakai syarat tertentu, syarat
tersebut batal dan rahn tetap sah.
2.4.4. Pengambilan
Manfaat Barang Rahn
Dalam pengambilan manfaat
barang-barang yang digadaikan, para ulama berbeda pendapat, diantaranya jumhur
fuqaha dan Ahmad. Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh
mengambil suatu manfaat barang-barang gadaian tersebut, sekalipun rahin
mengijinkannya, karena hal ini termasuk utang yang dapat menarik manfaat, sehingga
bila dimanfaatkan termasuk riba.
Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits dan
al-Hasan, jika barang gadaian berupa kendaraan yang dapat digunakan atau
binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil
manfaat dari kedua benda gadai tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan
yang dikeluarkannya selama kendaraan atau binatang ternak itu ada padanya.
Jadi, pengambilan manfaat pada
benda-benda gadai diatas ditekankan kepada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan
sehingga yang memegang barang-barang gadai seperti diatas punya kewajiban
tambahan. Pemegang barang gadai berkewajiban memberikan makanan bila barang
gadaian itu adalah hewan. Harus memberikan bensin atau biaya perawatan bila
yang dipegangnya berupa kendaraan. Jadi, yang dibolehkan disini adalah adanya
upaya pemeliharaan terhadap barang gadaian yang ada pada dirinya.
2.4.5. Penyelesaian Rahn
Apabila pada waktu pembayaran yang
telah ditentukan rahin belum membayar utangnya, hak murtahin adalah menjual
marhun, pembelinya boleh murtahin sendiri atau yang lain, tetapi dengan harga
umum yang berlaku pada waktu itu dari penjualan marhun tersebut. Hak murtahin
hanyalah sebesar piutangnya, dengan akibat apabila harga penjualan marhun lebih
besar dari jumlah utang, sisanya dikembalikan kepada rahin. Apabila sebaliknya,
harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang, rahin masih menanggung
pembayaran kekurangannya. Setelah itu Rahn
dipandang sudah selesai.
Selain keadaan yang dijelaskan tadi,
Rahn dipandang
habis dengan beberapa keadaan sebagai berikut:
1.
Rahin melunasi semua hutangnya
2.
Pembebasan
hutang, dalam bentuk apapun meskipun utang tersebut dipindahkan kepada orang
lain.
3.
Pembatalan rahn dari pihak murtahin, rahn dipandang habis jika murtahin membatalkan rahn meskipun tanpa seizin rahin. Sebaliknya dipandang tidak
batal jika rahin membatalkanya. Menurut ulama Hanafiyah murtahin diharuskan
untuk mengatakan pembatalan borg kepada rahin. Hal ini karena rahn tidak terjadi, kecuali dengan memegang. Begitu pula cara
membatalkannya adalah dengan tidak memegang. Ulama hanafiyah berpendapat
bahwa rahn dipandang batal jika murtahin membiarkan borg pada rahin sampai dijual.
4.
Borg yang diserahkan kepada pemiliknya, Jumhur ulama selain Safi’iyah
memandang habis rahn jika murtahin menyerahkan borg kepada pemiliknya
sebab borg merupakan jaminan hutang. Jika borg diserahkan, tidak ada lagi jaminan. Selain itu dipandang habis pula rahn jika murtahin meminjamkan borg kepada rahn atau kepada orang lain atas seizin rahin.
5.
Rahin atau murtahin meninggal, Menurut ulama Malikiyah, rahn habis
jika rahin meninggal sebelum menyerahkan borg kepada murtahin. Juga dipandang batal jika murtahin meninggal
sebelum mengembalikan borg kepada rahin.
6.
Tasharruf dan borg, Rahn dipandang habis apabila
borg ditasharufkan seperti dijadikan hadiah, hibah, sedekah, dan lain-lain atas
seizin pemiliknya.
2.4.6. Aplikasi
Rahn Dalam Perbankan
1.
Sebagai Produk Pelengkap
Rahn dipakai sebagai produk
pelengkap,artinya sebagai akad tambahan (jaminan/collateral) terhadap produk
lain seperti dalam pembiayaan ba'i al murabahah. Bank dapat menahan barang
nasabah sebagai konsekuensi akad tersebut.
2.
Sebagai Produk Tersendiri
Beberapa
negara Islam termasuk diantaranya adalah Malaysia, akad Rahn telah dipakai sebagai alternatif dari pegadaian konvensional.
Bedanya dengan pegadaian biasa, dalam rahn nasabah tidak dikenakan bunga, yang
dipungut dari nasabah adalah biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan, serta
penaksiran.
Perbedaan
utama antara biaya rahn dan bunga pegadaian adalah dari sifat bunga yang bisa
berakumulasi dan berlipat ganda, sedangkan biaya rahn hanya sekali dan
ditetapkan di muka.
2.4.7. Manfaat
Dan Risiko Rahn Dalam Perbankan
Beberapa Manfaat yang dapat diambil
oleh bank dari prinsip ar-rahn adalah sebagai berikut.
1.
Menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai atau
bermain-main dengan fasilitas pembiayaan yang diberikan bank.
2.
Memberikan keamanan bagi semua penabung dan pemegang
deposito bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam
ingkar janji karena aa suatu aset atau barang (marhun) yang dipegang oleh bank.
3.
Jika Rahn
diterapkan dalam mekanisme pegadaian,sudah barang tentu akan membantu saudara
kita yang kesulitan dana,terutama di daerah-daerah.
Adapun manfaat yang
langsung didapat bank adalah biaya-biaya konkret yang harus dibayar oleh
nasabah untuk pemeliharaan dan keamanan aset tersebut. Jika penahanan aset
berdasarkan fidusia (penahanan barang bergerak sebagai jaminan),nasabah juga
harus membayar biaya asuransi yang besarnya sesuai dengan yang berlaku secara
umum.
Selain beberapa manfaat
yang telah dijelaskn tadi, Rahn juga
memiliki beberapa resiko sebagai berikut:
1.
Risiko tak terbayarnya utang nasabah (wanprestasi)
2.
Risiko penurunan nilai aset yang ditahan atau dirusak.
DAFTAR
PUSTAKA
Kafalah Dalam Aplikasinya di
Lembaga Keuangan Islam. From http://alhushein.blogspot.com,
20 November 2013.
alhamdulilah ,,, artikelnya sangat bermanfaat
BalasHapus